Jakarta, rakyatdemokrasi.org- Mantan Menteri Keuangan Muhammad Chatib Basri memperkirakan apa yang terjadi terhadap perekonomian Indonesia saat resesi global yang disebut-sebut bakal terjadi pada tahun 2023.
“Sebetulnya ekonomi Indonesia menurut saya masih relatif kuat,” ujar dia dalam acara Indonesia Khowledge Forum XI 2022 yang digelar virtual pada Selasa, 18 Oktober 2022.
Chatib mengatakan dalam 6 hingga 8 bulan ke depan itu akan ada implikasi dari perkembangan situasi global yang bisa berpengaruh kepada ekonomi Indonesia.
Dia memang masih percaya pada tahun 2022, bahkan kuartal ketiga, Indonesia mungkin akan tumbuh relatif kuat sekali, sekitar 5,4 persen atau 5,5 persen.
Sementara, angka core inflation Amerika Serikat diumumkan lebih tinggi daripada yang diperkirakan, bahkan core inflation di bulan September itu lebih tinggi daripada bulan Agustus.
Implikasinya adalah dia memperkirakan bahwa mungkin dalam Federal Open Markets Committee (FOMC) meeting nanti The Fed akan secara agresif menaikkan bunga.
“Sehingga kemungkinan bahwa kenaikan Fed Fund Rate 75 basis poin itu cukup besar, lalu akan naik lagi nanti mungkin 50 basis poin pada Desember,” kata dia.
Selain itu, pekan lalu, Chatib menghadiri sebuah forum bersama dengan salah seorang Profesor dari Harvard University.
Profesor itu menyampaikan kekhawatiran soal kemungkinan The Fed terlalu eksesif karena ada kesenjangan dengan kebijakan moneternya.
Dengan kondisi seperti ini maka akan ada perlambatan ekonomi di AS. Jika ekonomi Amerika—sebagai salah satu motor besar di dalam tubuh di dunia—mengalami pelemahan maka akibatnya bukan tidak mungkin bahwa global ekonomi juga akan mengalami slow down.
“Mengapa saya berani katakan begini? Karena saya juga melihat hal yang mirip itu terjadi di Jerman. Bahkan dalam kondisi yang jauh lebih buruk,” ucap Chatib.
Dia menjelaskan akibat dari perang dengan Ukraina, Rusia dengan berbagai alasan mengurangi ekspornya ke Jerman. Khususnya ekspor dalam bentuk gas padahal Jerman sedang memasuki musim dingin.
Jadi bisa dibayangkan bahwa sistem pemanas di Jerman itu membutuhkan gas, manufaturnya juga membutuhkan gas karena sumber energinya datang dari gas.
Selanjutnya: Chatib Basri memperkirakan harga batu bara bertahan sekitar US$ 400.
Namun, di saat yang sama, tak tersedia gas. Chatib menilai dalam konteks seperti ini bukan tidak mungkin manufaktur di Jerman akan terhambat.
Sistem pemanas tersebut, menurut Chatib, akan terganggu, sehingga Jerman mau tidak mau harus beralih ke sumber energi lain yaitu listrik.
“Dan listrik ini, sumbernya berasal dari batu bara ini yang menjelaskan mengapa ketika harga minyak mulai turun, harga CPO mulai turun, harga batu baranya tetap bertahan di sekitar US$ 400,” kata dia.
Dalam konteks ini Indonesia sebetulnya diuntungkan karena merupakan salah satu negara penghasil pengekspor batu bara terbesar.
Namun, implikasinya buat Jerman, inflasi di level produsen itu sudah mencapai 46 persen yang tentu akan di-pass on.
Dengan kondisi seperti ini maka bunga akan naik, dan jika Jerman masuk dalam resesi maka Uni Eropa akan ikutan.
Sehingga, Chatib mengatakan, semua akan melihat ekonomi global mengalami pelemahan. Akibatnya adalah kebutuhan input untuk energi dan komoditas juga akan mengalami penurunan.
Lalu kebutuhan input untuk komoditas dan energi yang menurun itu akan membawa dampak pada ekonomi Indonesia. Alasannya, karena 60 persen dari ekspor kita itu adalah energi dan komoditas.
Jadi secara price ekspor Indonesia akan mengalami penurunan, maka implikasinya adalah mungkin tahun depan, trade surplus tidak akan lagi setinggi tahun ini.
“Bahkan bukan tidak mungkin kita mengalami current account defisit walaupun relatif kecil,” tutur Chatib.
Hal itu juga memiliki implikasi kepada exchange street atau pelemahan ekspor dan pelemahan harga komoditas. Dan akan berpengaruh kepada dua hal, ekspor Indonesia dan penerimaan pemerintah.
“Nah kalau ekspornya mengalamai penurunan praktis ekonomi Indonesia akan melambat,” ujar Chatib Basri. (rd/Tempo.co)